Mendamba Purnama



Jarum jam masih menunjukkan angka 02.00 dini hari ketika Ajeng terjaga dari lelap tidurnya. Bulan sabit tersenyum dari balik awan putih yang sesekali menyelimuti tubuhnya. Ajeng menghela nafas panjang, sudah sekitar dua minggu ini dia selalu terbangun di malam hari. Terjaga saat embun pagi belum sempurna menyentuh dedaunan. Ia beranjak dari tempat tidurnya, mengambil segelas air yang terletak di meja kamarnya dan meminumnya hingga habis. Setelah itu pun ia kembali menghempaskan tubuhnya ke atas pembaringan, mencoba menerawang peristiwa yang membuatnya dilanda kebingungan.
***
            Sore itu angin berhembus sejuk menerpa dedaunan. Ajeng meletakkan secangkir teh di hadapan ayahnya yang sedang membaca koran di teras rumah.
“ Ibu belum pulang ya nduk?” tanya pak Wisnu sembari meneguk teh yang baru saja dibuat anak sulungnya itu. “ Belum pak.” jawab Ajeng singkat “Putri kemana? Bapak tidak melihatnya dari tadi?” “Putri masih di sekolah pak, dia ada les hari ini.” jawab Ajeng sembari beranjak hendak masuk ke dalam rumah. “Bapak mau bicara sama kamu nduk” ucap pak Wisnu tiba - tiba. Ajeng menjawab dengan sebuah anggukan, ia pun mengambil tempat duduk di sisi ayahnya.
“ Sudah lebih dari sebulan kamu lulus nduk, sudah ada rencana mau kerja dimana?” pertanyaan pak Wisnu membuat Ajeng tampak kaget. “Setahu bapak kamu sudah mendapatkan beberapa tawaran kerja nduk? Belum ada yang cocok atau gimana?” tambah pak Wisnu yang semakin membuat Ajeng tercengang. “Bapak tahu dari beberapa surat yang kamu terima akhir–akhir ini nduk” tandas pak Wisnu menjawab kebingungan Ajeng. Ajeng tersenyum getir, sekuat tenaga dia menghimpun kekuatan untuk menyampaikan rencana masa depan yang sudah dirancangnya. “ Ajeng berencana melanjutkan S-2 pak,” ucapnya ragu. Dahi pak Wisnu berkerut. “ Dosen Ajeng merekomendasikan peluang beasiswa kepada Ajeng, alhamdulillah secara administrasi Ajeng memenuhi persyaratannya pak “ tambah Ajeng menjelaskan. Kali ini pak Wisnu yang dibuat tercengang dengan pernyataan anaknya. “Seingat bapak, kamu belum pernah menyampaikan rencana ini kepada bapak nduk? Ibu sudah tahu rencana kamu ini?” tandas pak Wisnu. Ajeng menggeleng menjawab pertanyaan ayahnya. “ Satryo juga belum tahu?” tanya pak Wisnu. Kembali Ajeng menggeleng, “Ajeng belum membicarakan rencana ini pada mas Satryo pak. “Nanti malam minta Satryo datang kesini, bapak ingin bicara dengannya, juga denganmu, bapak masih belum mengerti dengan jalan pikiranmu nduk.” ucap pak Wisnu sebelum beranjak meninggalkan Ajeng.
Malamnya, Satryo memenuhi undangan pak Wisnu untuk datang ke rumah Ajeng. Walaupun ia tak tahu apa yang membuat ayah kekasihnya itu tiba–tiba saja mengundangnya. Satryo masih mengingat jelas pertemuan terakhirnya dengan keluarga Wisnu itu ia lakukan sekitar sebulan yang lalu tepat di hari wisuda Ajeng. Acara tasyakuran atas kelulusan Ajeng pun ia ikuti hingga berakhir tanpa masalah, bahkan Satryo mengajak serta kedua orang tuanya dalam acara itu. Kebingungan yang dirasakan Satryo semakin bertambah ketika tiba di rumah Ajeng ia disambut dengan tatapan serius ayah Ajeng, pak Wisnu.
“Selamat malam pak” sapa Satryo sambil mencium tangan pak Wisnu. Pak Wisnu tersenyum membalas sapaan Satryo. Satryo bersyukur lega. ‘Semoga tidak ada masalah serius’, bisiknya dalam hati. Pak Wisnu baru saja mempersilakan Satryo duduk ketika Bu Wisnu muncul dari balik pintu ruang tengah. “Makan dulu saja pak, ngobrolnya nanti setelah makan” ajaknya menghampiri Satryo. “Mari nak Satryo, Ajeng sudah menyiapkan makan malam untuk kita.” tambahnya. Satryo hanya mengangguk menanggapi ajakan bu Wisnu. Pak Wisnu akhirnya beranjak ke ruang makan setelah terlebih dahulu juga mengajak Satryo. Satryo mengikuti langkah kedua calon mertuanya itu masih dengan perasaan bingung, ia masih berupaya menerka apa maksud undangan malam itu.
Seusai makan malam, suasana kembali serius. Malam itu pak Wisnu duduk di sofa panjang dengan bu Wisnu dan Ajeng di sampingnya, sementara Satryo memilih duduk di sofa di hadapan ketiga orang tadi. “ Maafkan bapak  jika undangan tadi sore membuat nak Satryo bingung,” ujar pak Wisnu mengawali pembicaraan. “Bapak bermaksud membicarakan hubunganmu dengan Ajeng,” tambahnya melirik ke arah Satryo yang masih serius menyimak perkataannya. Satryo sekilas melirik ke arah Ajeng yang juga tampak memperhatikan kata demi kata yang terucap dari mulut ayahnya itu. “Kalian sudah lama bersama, Ajeng juga sudah menyelesaikan kuliahnya, bapak rasa sudah saatnya kalian melangkah lebih serius.“ lanjut pak Wisnu yang langsung membuat Ajeng terkejut. “Apalagi yang kalian tunggu nak? Ibu rasa juga sudah waktunya kalian menikah,” kali ini bu Wisnu mempertegas perkataan suaminya. Satryo tersenyum, sekilas melirik kembali gadis yang sudah lebih dari dua tahun menjadi kekasihnya itu. “Sebenarnya Satryo juga sudah berencana akan segera menikahi putri bapak dan ibu,” ujar Satryo, Ajeng menatap Satryo bingung. Sebelumnya ia tak pernah mendengar rencana itu keluar dari mulut kekasihnya secara langsung. “Satryo memang belum meminang Ajeng secara remi pak, tetapi dari awal Satryo serius ingin menjadikan Ajeng sebagai istri Satryo.” tegasnya menambahkan. Pak Wisnu tersenyum lega mendengar penuturan calon menantunya itu. Dalam hati ia sangat yakin akan sosok Satryo. Dua tahun menjalin hubungan dengan Ajeng, Satryo memang sering mengunjungi rumah Ajeng. Dia bahkan sering mengobrol dengan kedua orang tua gadis itu. Orang tua Satryo pun sudah mengenal Ajeng dan keluarganya. Restu kedua keluarga sudah mereka peroleh semenjak mereka mulai menjalin hubungan.
Malam itu benar–benar menjadi malam yang melegakan bagi Satryo dan kedua orang tua Ajeng. Satryo berencana segera membawa kedua orangtuanya meminang pujaan hatinya itu, tentu saja dengan persetujuan orang tua Ajeng. Seusai percakapan malam itu, Ajeng mengantarkan Satryo hingga ke depan pagar. Satryo menatap wajah Ajeng, berharap kekasihnya itu juga merasakan kelegaan seperti yang ia rasakan. Namun ia heran mendapati Ajeng justru tertunduk lesu tanpa sedikitpun gurat kebahagiaan muncul di wajah ayunya. “Kamu kenapa dek?” tanya Satryo. Ajeng terkesiap, “Emm, ga papa...” ucapnya gugup. “Yakin?” tandas Satryo. Ajeng mengangguk lemah. “Kamu ga setuju dengan rencanaku tadi? Kamu belum bersedia menjadi istriku?”. Ajeng tersenyum menatap mata lawan bicaranya itu,” Bukan seperti itu mas, Ajeng hanya kaget saja. Semua begitu mendadak bagi Ajeng... “ jawabnya tertahan. “Kamu ga yakin dengan kesungguhanku dek?” tukas Satryo “Bukan, Ajeng justru ga yakin dengan diri Ajeng sendiri, beri waktu buat Ajeng untuk memikirkan semuanya ya mas.” pinta Ajeng.  Satryo heran mendapat tanggapan seperti itu dari Ajeng, tapi ia kemudian mengangguk menyetujui permintaan Ajeng. “Aku harap jawabanmu tidak mengecewakan ibu, bapak, dan terutama aku dek, aku sangat berharap kamu bersedia menjadi pendampingku.” ujar Satryo sebelum akhirnya ia keluar dari halaman rumah Ajeng.
Ajeng masuk ke dalam rumah dan mendapati orang tuanya masih berada di ruang tamu. Ia menghembuskan nafas berharap semua sesak yang ia rasakan dapat berlalu dari rongga dadanya. “Pak, bu Ajeng ingin bicara” ucapnya sembari duduk di hadapan orang tuanya. Pak Wisnu dan bu Wisnu menatapnya dengan heran. “Ajeng masih perlu waktu untuk memikirkan rencana pernikahan Ajeng.” ucapnya ragu. “Bapak sudah mengetahui rencana Ajeng untuk melanjutkan S-2 kan pak?’ kali ini ia menatap lemah ke arah pak Wisnu. “Ajeng mungkin tidak akan bisa melanjutkan kuliah jika Ajeng sudah menikah pak, bu.” tambahnya lirih. “Bapak mengerti nduk, bapak tahu rencanamu, tapi saat ini pernikahan adalah yang terbaik bagimu.” jawab pak Wisnu. “Setelah menikah kan kamu masih bisa meneruskan kuliahmu” tambah pak Wisnu. “Tapi pak, bagaimana jika mas Satryo tidak mengijinkan Ajeng untuk melanjutkan kuliah? Lagipula, Ajeng juga baru lulus. Tidak ada keharusan bagi Ajeng untuk segera menikah.” ujar Ajeng memberikan alasan. “Nduk, sebenarnya apalagi yang masih kamu cari? Ibu, juga bapak sudah memikirkan hal ini jauh–jauh hari. Menurut kami Satryo sudah pantas menjadi seorang suami, seorang pemimpin bagi keluargamu kelak.” bu Wisnu menambahkan penjelasan suaminya. “Ajeng percaya bu, Ajeng juga yakin dengan mas Satryo. Tapi, Ajeng tidak ingin melewatkan peluang ini. Kesempatan berharga ini mungkin hanya akan menghampiri Ajeng kali ini saja pak, bu. Ajeng berpeluang kuliah di luar negeri tanpa biaya bu, bukankah ini adalah kesempatan yang sangat luar biasa?”. Pak Wisnu dan bu Wisnu sama-sama tercengang, sebelumnya mereka belum tahu bila putrinya itu akan melanjutkan kuliah di luar negeri. “Apa nduk? Luar negeri?” bu Wisnu mempertegas kalimat yang baru saja keluar dari mulut putrinya itu. Ajeng mengangguk mengiyakan. “Ajeng, usiamu sekarang sudah matang, gelar sarjana sudah kau kantongi. Apalagi yang kau tunggu? Kamu perlu ingat nduk, kita hidup di tengah masyarakat yang masih tradisional. Bapak hanya tidak ingin kamu menjadi buah bibir tetanga–tetangga kita.”. “Bapakmu benar nduk, apalagi Satryo juga sudah mapan, apalagi yang kamu cari nduk?” Orang tua Ajeng masih bersikukuh dengan pendapatnya ketika akhirnya Ajeng meminta waktu untuk memikirkan semuanya sendiri.
Purnama mengintip dari balik jendela kamar Ajeng. Malam itu, angin berhembus tak seperti biasanya, udara dingin masih menyentuh kulit Ajeng yang tertutup sweater tebal. Ajeng merenung mengingat kembali semua penuturan kedua orang tuanya, pun akan kesungguhan Satryo selama ini. Ia tak merasakan sedikitpun keraguan akan ketulusan Satryo mencintainya. Ajeng masih mengingat jelas pertemuannya dengan Satryo terjadi ketika ia sedang mengambil sampel data di sebuah rumah sakit tempat Satryo bekerja. Saat itu, Satryolah yang selalu membimbing Ajeng melakukan pengambilan dan pengolahan data untuk tugas kuliah Ajeng. Ajeng masih mengingatnya dengan jelas, pun peristiwa – peristiwa yang ia lalui bersama kekasihnya itu. Semua kenangan itu membuat Ajeng semakin ragu akan niatnya melanjutkan kuliah. Egois rasanya jika ia hanya memikirkan keinginannya sendiri.
***
Ajeng menoleh ke arah jam di dinding kamarnya, pukul 03.40, ‘kenapa waktu berjalan begitu lambat’ bisiknya pada dirinya sendiri. Sudah 2 minggu ini ia tidak menghubungi Satryo, juga ketika ia memutuskan menerima tawaran pekerjaan di sebuah rumah sakit swasta tak jauh dari rumahnya. Ia sama sekali tidak memberikan kabar kepada kekasihnya itu. Pikiran Ajeng masih menerawang jauh pada masa–masa dimana ia dan Satryo bersama, sedetik kemudian Ajeng mengingat kembali perjuangannya memperoleh nilai cumlaude agar bisa menerima beasiswa dari luar negeri yang selama ini selalu menjadi imipiannya. Semua masih terasa sulit bagi Ajeng, terlebih saat ibunya mempertegas alasan yang melarang Ajeng melanjutkan kuliah. “Satryo kan juga baru sarjana nduk, apa nanti kamu yakin dia bisa menerimamu dengan title yang lebih tinggi darinya? Ibu hanya takut Satryo akan minder dan justru meninggalkanmu.” kata–kata itu terngiang kembali di telinga Ajeng membuatnya semakin ragu akan keputusannya.
Pagi menjelang, sayup–sayup kumandang adzan shubuh terdengar dari kamar Ajeng. Ia tersadar, satu malam telah berlalu pergi, namun ia juga belum yakin akan pilihannya. Ia berharap purnama mendatang akan memberikan jawaban pasti atas semua kegundahan hatinya. ‘Semoga saja, purnama lekas tiba’ bisiknya sebelum bergegas melaksanakan kewajibannya.
***
Senja menepi, membawa pergi rona jingga menjauh dari cakrawala. Dewi malam beranjak dari singgasananya, bentuknya yang bulat sempurna mengisyaratkan bahwa purnama telah kembali menghiasi dunia. Ajeng termenung di balik jendela kamarnya, menyaksikan purnama yang sudah beberapa hari ini ia damba kehadirannya.
Hati Ajeng bergetar ketika samar–samar ia dengar deru mobil Satryo memasuki halaman rumahnya. Satu menit, dua menit....lima menit penantian yang terasa begitu panjang bagi Ajeng. Pintu kamarnya terkuak, bu Wisnu mucul dengan senyum mengembang di wajahnya. “Nak Satryo sudah datang nduk, kamu sudah siap?” Ajeng mengangguk menjawab pertanyaan ibunya. “Apapun keputusanmu malam ini kami semua siap menerimanya nduk, walau sebenarnya ibu sangat menginginkan kamu menerima pinangan Satryo” ujar bu Wisnu sembari mendampingi Ajeng menuju ruang tamu, tempat dimana kedua orang tua Satryo dan ayahnya berkumpul, lengkap dengan Satryo kekasihnya.

“Bismillah, insyaAllah aku siap menjadi istrimu mas” Ajeng mengucapkan kalimat itu dengan yakin. “Aku percaya kamu bisa menjadi imam bagi keluarga kita kelak.” tegasnya. Satryo menatap Ajeng, mencari ketegasan di balik sinar matanya. Ia bersyukur, ajeng bersungguh–sungguh dengan ucapannya. Kedua orang tua Ajeng dan Satryo tersenyum mendengar penuturan Ajeng. Sebagai orang tua, mereka hanya berharap yang terbaik bagi anak–anaknya.

Purnama masih setia menghiasi angkasa, Ajeng duduk di samping Satryo di teras rumahnya, sementara kedua orang tua mereka masih sibuk mencari tanggal pernikahan untuk mereka. Satryo menatap bingung ke arah Ajeng, di lihatnya kekasihnya itu masih asyik menikmati ribuan bintang yang bertebaran di cakrawala. “Purnama memang selalu mempesona ya mas,” ujarnya tersenyum menjawab kebingungan Satryo. “Perpaduannya dengan bintang selalu membuatku merindukanmu,” ujarnya menatap Satryo. Satryo mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. “Hey, bukankah kamu yang mengajariku untuk mencintai malam? Kamu bilang malam selalu menawarkan kedamaian di balik kesunyiannya? Dan sekarang aku benar–benar terpesona akan keindahan malam.” tuturnya yang hanya dibalas senyuman oleh Satryo. “Aku hanya berharap pesonaku tak kalah dengan purnama yang sedang kau saksikan itu dek” ujar Satryo menggoda. “Hmmm, aku tak akan menggantikan keindahan purnama dengan pesonamu mas...”ujar Ajeng terpotong. “Bagiku kau lebih indah dari purnama itu, karna sekarang kamulah purnamaku mas, purnama hidupku.” tandas Ajeng. Satryo tersenyum mendegar penuturan Ajeng. ‘Semoga purnama yang selalu kau damba memang aku dek,’bisiknya dalam hati.

2 komentar:

  1. Izin promo ya min^^
    Kalah melulu main di tempat lain? Daftar disini saja Upd4te Bett1ng

    BalasHapus
  2. Promo www.Fanspoker.com :
    - Bonus Freechips 5.000 - 10.000 setiap hari (1 hari dibagikan 1 kali) hanya dengan minimal deposit 50.000 dan minimal deposit 100.000 ke atas
    - Bonus Cashback 0.5% Setiap Senin
    - Bonus Referal 20% Seumur Hidup
    || WA : +855964283802 || LINE : +855964283802 ||

    BalasHapus