Tradisi Sadranan - Tradisi yang masih melekat pada budaya Jawa

Sadranan atau nyadran adalah serangkaian  upacara kebudayaan yang dilakukan di bulan Syakban (Ruwah) menjelang bulan puasa. Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta, sraddha yang artinya Keyakinan. Dalam bahasa Jawa kata nyadran berarti ruwah syakban.

Tradisi sadranan dilakukan oleh masyarakat di daerah Jawa Tengah, namun umumnya tradisi ini dilakukan oleh masyarakat di perdesaan.  tradisi ini dilaksanakan sebagai penghormatan kepada arwah leluhur, sanak dan saudara.

Di daerah saya, di Sumowono, Kab. Semarang sadranan dilakukan pada hari Jumat Kliwon dengan berbagai rangkaian acara, antara lain, kamis sore malam Jumat Kliwon bersih-bersih makam, lalu jumat paginya semua masyarakat laki-laki di desa saya berkumpul menjadi satu di dekat makam desa untuk berdoa bersama dengan membawa makanan yang sudah disiapkan, seperti ingkung (daging ayam lengkap yg belum dipotong), ), nasi bucu (nasi yang dibentuk lancip seperti gunung), sayuran, kerupuk, buah dan makanan tambahan lainnya.  Semua makanan itu dimasukkan di dalam sebuah wadah yang orang jawa sebut sebagai tenong, cara membawanya yaitu di pikul.

Puncak acaranya biasanya mengadakan pertunjukan seni, lebih seringnya kuda lumping dan dangdut. Tetapi pertunjukan itu hanya sebagai tambahan untuk memeriahkan rangkaian acara sadranan itu.

Sejarah nyadran sendiri berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15 para Walisongo menggabungkan tradisi tersebut dengan dakwahnya, agar agama islam dapat dengan mudah diterima. Pada awalnya para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam dinilai musyrik. Agar tidak berbenturan dengan tradisi Jawa saat itu, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat Al-Quran, tahlil, dan doa Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dan sesama manusia dengan Tuhan.